Saya melihat salah seorang siswa di lingkungan tempat tinggal saya sangat tekun belajar.
Sampai-sampai, ia tidak sempat meluangkan waktu untuk bermain dengan
teman sebayanya. Tuntutan sekolah yang begitu banyak membuatnya harus
berlama-lama di kamar untuk mentransfer informasi yang ada di buku ke
dalam otak atau memorinya. Saya sangat kasihan dengan siswa tersebut.
Mengapa? Di satu sisi, siswa tersebut memang terasah kemampuan
kognitifnya. Namun di sisi lain, ia mengalami ketimpangan atau
kelumpuhan emosional (afektif). Hidup itu seperti naik sepeda, perlu
sekali menjaga keseimbangan. Jika keseimbangan tidak terjaga maka akan
jatuh.
Melihat siswa tersebut, saya sarankan
pada orangtuanya untuk membantu mengatur waktu, agar ia tidak terkurung
di dalam kamar, sementara kawan-kawannya asyik bermain. Yang tidak ia
sadari, bahwa bermain sebenarnya juga bagian dari proses belajar.
Seperti yang kita ketahui, manusia
sebenarnya memiliki daya cipta, rasa dan karsa. Karena itu, ketika hanya
daya cipta (IQ) saja yang diasah, maka terjadi ketidakseimbangan. Lalu
apa yang terjadi? Tentunya, efek dari pola pendidikan
yang hanya menitik beratkan pada daya cipta (kognisi / IQ) saja dan
mengabaikan rasa (afeksi / EQ) dan karsa (action) akan terasa dan
terlihat di kala si anak tumbuh dewasa. Si anak tersebut akan lumpuh
sosial. Mengapa saya katakan lumpuh sosial? Lumpuh sosial terjadi ketika
si anak tidak mampu menjalin hubungan di lingkungan sosialnya. Padahal, dalam setiap pergaulan di masyarakat, baik pergaulan dalam pekerjaan, pergaulan organisasi, pergaulan di sekolah
dan lain-lain pasti butuh untuk menjalin hubungan dan bekerjasama
dengan sesama. Pada akhirnya bisa menghambat perkembangan potensi
dirinya.
Bukankah sudah menjadi kebutuhan
mendasar kita sebagai manusia untuk saling bekerjasama. Dengan
bekerjasama, sebenarnya kita membuka banyak peluang untuk mempelajari
banyak hal. Dengan begitu kita bisa menambah kesempatan untuk
mengeksplore diri kita. Inilah letak pentingnya pergaulan dan interaksi
sosial.
Dulu, orang tua
memang mengarahkan anak-anaknya untuk mengasah IQ-nya. Sebab, IQ yang
tinggi diartikan sebagai tingkat kecerdasan yang tinggi pula (dan konon
jadi resep sukses kalo IQ tinggi). Namun, sebuah kesadaran baru akhirnya
muncul bahwa ada kecerdasan lain yang juga tidak bisa diabaikan, yakni
kecerdasan emosional.
Keseimbangan antara kecerdasan kognitif (pengetahuan), perasaan (afektif) dan tindakan (action) akan membangun kekuatan karakter diri yang baik. Karakter diri sangatlah penting peranannya. Sebab, karakter diri adalah cara pikir dan prilaku yang khas dari individu untuk hidup dan bekerjasama dengan sekitarnya.
Terkadang, karakter
diri seseorang terasa tidak seimbang. Ada orang yang memiliki ide-ide
brilian namun tidak mampu bekerjasama dengan teamworknya. Itu
menunjukkan orang tersebut memiliki kecerdasan IQ yang baik sedang
kecerdasan emosionalnya buruk. Ada juga orang yang memiliki otak
cemerlang, dia juga baik, namun malas bekerja. Itu menunjukkan actionnya
lebih lemah dibanding IQ dan EQ nya.
Karakter diri akan semakin kuat jika ketiga aspek tersebut terpenuhi. Karakter diri yang baik ini akan sangat menentukan proses pengambilan keputusan, berperilaku dan cara pikir kita. Yang pada
akhirnya akan menentukan kesuksesan kita. Lihat saja, seorang Nelson
Mandela meraih simpati dunia dengan ide perdamaiannya. Bunda Teresa
menggetarkan dunia dengan rasa cinta dan kepedulian terhadap sesamanya.
Bung Karno dengan ide, kegigihan dan kecerdasannya masih terasa bagi
kita bangsa Indonesia yang telah melalui tahun millennium.
Semua itu adalah wujud dari kekuatan karakter yang mereka miliki. Ini menegaskan bahwa, karakter seseorang menentukan kesuksesan individu. Dan menurut penelitian,
kesuksesan seseorang justru 80 persen ditentukan oleh kecerdasan
emosinya, sedangkan kecerdasan intelegensianya mendapat porsi 20 persen.