
Menjelang Hari Raya ‘Iedul Fitri, kantor pegadaian menjadi sebuah
tempat yang paling ramai dipadati pengunjung yang ingin berhutang.
Padahal yang benar, mudik tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena
tidak ada satu perintahpun baik dari Al-Qur’an maupun As Sunnah yang
menyatakan bahwa, setelah menjalankan ibadah Ramadhan harus melakukan
acara silaturahmi untuk kangen-kangenan dan maaf-maafan, karena
silaturahmi bisa dilakukan kapan saja sesuai kebutuhan dan kondisi.
Apabila yang dimaksud mudik lebaran
sebagai bentuk kegiatan untuk memanfaatkan momentum dan kesempatan untuk
menjernihkan suasana keruh dan hubungan yang retak, sementara tidak ada
kesempatan yang baik kecuali hanya waktu lebaran, maka demikian itu
boleh-boleh saja. Namun, bila sudah menjadi suatu yang lazim dan
dipaksakan, serta diyakini sebagai bentuk kebiasaan yang memiliki kaitan
dengan ajaran Islam, atau disebut dengan istilah tradisi Islami, maka
demikian itu bisa menjadi bid’ah dan menciptakan tradisi yang batil
dalam ajaran Islam.
Sebab seluruh macam tradisi dan kebiasaan yang tidak bersandar pada
petunjuk syariat merupakan perkara bid’ah dan tertolak, sebagaimana
sabda Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam yang artinya “Aku wasiatkan
kepada kalian untuk bertakwa kepada Allâh, patuh dan taat walaupun
dipimpin budak habasyi. Karena siapa yang masih hidup dari kalian, akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada
sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang memberi petunjuk.
Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara
yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.” (Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Sumber : Majalah As-Sunnah